Pilkada, Kebebasan dan Otonomi Masyarakat

 

Oleh: Yan Kefi
Warga Kelurahan Sasi, Kecamatan Kota Kefamenanu

Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) oleh rakyat merupakan satu pergeseran paradigma dalam kancah perpolitikan. Pergeseran paradigma ini menunjukkan ciri yang demokratis. Kedaulatan rakyat dijunjung tinggi. Satu langkah maju dalam berpolitik. Rakyat bukan sebagai penonton pasif-reseptif atas keputusan melainkan rakyat berpartisipasi dan bahkan sebagai konstituen determinan. Pilkada menandakan pengafirmasian kedaulatan rakyat  dan penjujungan hak politik rakyat. Membaca gejala Pilkada dalam hingar bingarnya  bersama Edmund Husserl  berarti mencoba menyingkap  apa substansi (noumenon) dari balik gejala (fenomena) yang unik dan beragam. Pilkada menjadi penyingkapan realitas politik yang sebenarnya. Politik dan Pilkada bukanlah suatu domaian privat yang ‘haram’ untuk segelintir orang. Pilkada  menjadi proses demokrasi yang melampaui fenomena politik kekuasaan yang tidak jarang  mengatup rapat-rapat realitas politik  yang sebenarnya. Pilkada menjadi antitesis yang turut menentukan praktik politik dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Pilkada sebagai noumenon politik.


Politik merupakan proses yang dilakukan rakyat. Proses untuk menata hidup bersama dalam suatu masyarakat. Politik senantiasa bersinggungan dengan rakyat  sebagai pelaku proses politik.  Karena afirmasi inilah politik mewujud dalam diskusi dan perbincangan dimana “ruang antara” (Zwichenraueme) antar manusia terbuka  dan sebuah dunia bersama dengan kebaikan terbentuk.  Filsuf Hannah Arendt  meyakini bahwa “politik adalah kasih yang diwujudnyatakan  kepada dunia”.  Pernyataan ini mungkin terlalu tendensius dan serentak diamini sebagai suatu cita-cita atau idealisme bahkan terkesan paradoksal. Cinta kepada dunia (manusia dan alam) adalah suatu panggilan kemanusiaan. Panggilan untuk suatu perubahan hidup yang lebih bermartabat  lewat karya-karya karitatif  dalam semangat solider dengan manusia dan alam.  Politik  bukan sekedar perkara “apa yang harus orang inginkan atau rasakan” tetapi  juga apa yang harus orang alami  secara nyata (tentu kebaikan bersama). Dalam politik, dunia bersama  dibangun atas dasar komunikasi. Keputusan politis  tidak semata diambil  atas dasar suara terbanyak  tetapi harus lahir dari sebuah proses diskursus.  Diskursus menciptakan  dunia bersama yang memungkinkan hidup bersama. Karena itulah kita menjadi ‘warga politik,” tulis Hannah Arendt (1977). Rakyat menjadi syarat mutlak  (conditio sine quo non) bagi politik.  Maka Pilkada menjadi pengafirmasian politis atas upaya pengembalian realitas politik kepada pengakuan kedaulatan rakyat. Rakyat diserahi hak politik untuk memproses hidup bersama, menyepakati sebagai konsensus dan mendialogkan tata laksana  aturan dalam mencapai kesejahteraan bersama. Pilkada menjadi momen legitim hak rakyat.



Kedaulatan politik dinyatakan secara legitim melalui pemilihan secara langsung  oleh rakyat mencirikan rasionalitas politik. Rasionalitas politik berkaitan erat dengan  perwujudan demokrasi kerakyatan. Pilkada idealnya sebagai  pencapaian rasionalitas politik kerakyatan.  Hal ini  menunjukkan perluasan pemahaman dan pemaknaan rakyat akan politik. Pilkada sebagai peralihan rasionalitas politik yaitu dengan menempatkan kembali rakyat sebagai pelaku utama yang bermartabat. Rasionalitas politik yang dicapai melalui proses pilkada adalah aktualisasi pelimpahan kedaulatan rakyat.Pilkada sebagai legitimasi hak rakyat menunjuk pada kebebasan dan otonomi masyarakat. Pilkada menjadi tanda penjunjungan  dan pengakuan kebebasan rakyat dan otonominya  untuk memilih. Kebebasan menyatu dengan eksistensi manusia.  Kebebasan adalah kemampuan seseorang untuk menentukan sendiri apa  yang mau dilakukan. Kebebasan berkaitan erat dengan  self determination. Kebebasan menjadi hal yang fundamental  dalam demokrasi.  Karena hanya dengan individu-individu yang bebas  ini demokrasi menjadi mungkin. Pembicaraan tentang demokrasi  hanya mungkin apabila para warga menyadari diri  sebagai manusia yang bebas  dan dapat menentukan sikap sendiri. Kebebasan menjadi penjamin berlangsungnya demokrasi sebab sistem ini membuka ruang bagi rakyat untuk bersikap kritis. Sikap kritis dimungkinkan oleh kebebasan mengambil jarak. Supaya demokrasi ada dan survive  dibutuhkan kebebasan dan sikap kritis yang selalu bertanya tentang tempat dan martabat manusia  sebagai manusia dalam demokrasi. Demokrasi hanya dapat bertahan apabila yang menjadi tujuannya  adalah kebebasan para warga. Karena itu, demokrasi mesti diabdikan bagi perwujudan politik  dan pelaksanaan kebebasan manusia. Pilkada menjadi momen aktualisasi kebebasan rakyat. Kualitas suatu demokrasi dapat ditakar melalui kebebasan rakyat  untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Karena itu, kebebasan mesti dijadikan kriteria penilaian sebuah demokrasi.



Pilkada memberi peluang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Melalui Pilkada partisipasi rakyat menjadi terbuka. Rakyat melibatkan diri sebagai pemberi suara sekaligus sebagai  pemantau yang kritis. Hal ini menunjukkan demokratisasinya. Dalam demokrasi, rakyat mempunyai hak untuk memilih. Pilihan selalu terarah pada suatu tujuan  yang hakiki yang menjadi dasar dan horison dari nilai. Karena itu pilihan harus dijiwai  kesadaran untuk membangun kesejahteraan umum (bonum commune). Kesejahteraan yang dimaksud bukan terbatas pada hal-hal material  melainkan terarah pada nilai-nilai kemanusiaan. Kesejahteraan yang terarah pada pembangunan martabat manusia  sebagai manusia.Dalam Pilkada rakyat dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan. Karena itu sikap selektif amat dibutuhkan. Pilihan yang rasional juga adalah  pilihan yang dipertimbangkan secara rasional  dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sesuai dengan kondisi yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap nilai-nilai humanis dan hati nurani. Karena itu pilihan yang selalu rasional berada dalam kerangka kriteria penilaian. Memilih berarti menilai dari  kemungkinan-kemungkinan.  Dalam penilaian itu otonomi ditampakkan. Hanya pribadi otonom dapat menentukan sikap dan  pilihan secara benar sesuai dengan hati nurani. Kriteria yang dipakai untuk menilai suatu kemungkinan adalah penghargaan otonomi manusia. Menilai dalam kebebasan adalah menilai secara otonom tanpa diintimidasi oleh pihak manapun. Keterikatan dan keterpasungan pada suatu kepentingan sektarian dengan intrik kekuasaan, kebebasan akan terbelenggu. Rasionalitas dan otonomi dipertanyakan, pada galibnya pertanggungjawaban terhadap sebuah pilihan lemah; hakikat kemanusiaan dipersoalkan.



Pengambilan sikap dan tindakan menyangkut seluruh kemanusiaan. Pengambilan sikap adalah totalitas  kemanusiaan dan  menentukan pilihan adalah  tanggungjawab kemanusiaan dan nilai-nilai sosial. Pilihan berkaitan erat dengan pengambilan sikap. Pengambilan sikap menjadi lebih signifikan  manakala disertai dengan suatu  pemahaman dan kesadaran yang jelas tentang pilihan. Oleh karena itu menjatuhkan pilihan dalam pilkada harus melepaskan diri dari keterikatan-keterikatan  primordialisme, sukuisme atau kepentingan politik tertentu.Praksisnya tidak dapat dielakkkan sama sekali kecenderungan untuk mempertimbangkan privilese politik tertentu. Riil politik saat ini bukanlah mimpi indah.Harapan akan tatanan politik yang bermartabat dan kualitas  hidup yang baik selalu berbenturan dengan realitas kebobrokan (malum). Cita-cita politik untuk bonum commune jauh panggang dari api karena para elite politik lebih memperjuangkan bonum privatum. Kecenderungan para elite untuk memperhatikan kepentingannya sendiri dan kepentingan partai politiknya. Kecenderungan-kecederungan ini tidak jarang menyeret para penguasa ke praktik  tidak fair untuk berusaha mengakomodasikan pertimbangan  dan kepentingan para warga, dengan memberikan sumbangan material. Kecenderungan yang demikian tidak lain yaitu selain untuk memperoleh  simpatisan dan menggaet  simpati massa juga untuk mengukuhkan posisi. Hal ini yang menjadi kelemahan  yang perlu dikritisi. Pemberian itu tidak fair dalam politik karena dalamnya suara masyarakat dibeli dan diukur dengan hal-hal material. Pemberian itu juga menunjukkkan pencaplokan rasionalitas,  kebebasan  dan otonomi masyarakat. Otonomi masyarakat dikungkung. Masyarakat terikat pada pemberian dan kekuasaan tertentu. Dengan demikian aktualisasi  kebebasan dan otonomi menjadi kabur.



Cita-cita demokrasi dalam pilkada  dapat tercapai jikalau mekanisme  dan tujuan berpolitik  menempatkan penghargaan terhadap  kebebasan dan otonomi masyarakat. Mekanisme berpolitik harus beralih  kepada kebebasan masyarakat  dari pemberian barang-barang material  atau money politic yang mengikat  kebebasannya. Demokrasi menujukkan kualitasnya manakala  tercipta iklim komunikasi  yang bebas dominasi  dengan memberikan ruang bagi publik  untuk secara bebas memilih  sesuai dengan hati nuraninya. Pilkada sesungguhnya merupakan  pengafirmasian kebebasan dan  otonomi masyarakat. Karena itu jangan pernah mencaploknya! Kita akan mengggelar Pilkada massal  yang akan terjadi serempak pada tanggal 27 November 2024 di beberapa Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kita mengharapkan jalannya proses pilkada  sungguh menampakkkan kebebasan,  dan otonomi masyarakat untuk memilih.

0 Komentar